Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mari Berguru Sejarah Monumen Mandala Di Makassar


Monumen Pembebasan Irian Barat atau lebih dikenal sebagai Monumen Mandala yaitu pengingat atas keberhasilan Indonesia merebut kembali (pembebasan) wilayah Irian Barat -sekarang Papua- yang bergolak pada 1962 ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ketika itu Indonesia masih dipimpin presiden pertama RI, Soekarno. 
Meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan hampir 20 tahun, namun Belanda masih menguasai wilayah Irian Barat. Tinggi Menara Monumen yang mencapai ketinggian 62 meter merupakan simbol tahun 1962, tahun terjadinya usaha pembebasan Irian Barat.

DAFTAR ISI


Sejarah Berdirinya Monumen Mandala

Sejarah mencatat, negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda untuk membebaskan Irian Barat ketika itu semuanya kandas dan berakhir sia-sia tanpa hasil. Akhirnya, pemerintah memakai kekuatan militer; Presiden Soekarno pada Desember 1961 mencetuskan Tiga Komando Rakyat atau Trikora. Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta, dan mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima serta Komando Mandala. Tugas komando ini yaitu merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bab Barat dengan Indonesia. Guna melancarkan operasi militer ini Indonesia membeli aneka macam macam peralatan militer dari Uni Soviet, antara lain:

41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan),
9 Helikopter MI-6 (angkutan berat),
30 pesawat jet MiG-15,
49 pesawat buru sergap MiG-17,
10 pesawat buru sergap MiG-19,
20 pesawat pemburu supersonik MiG-21,
12 kapal selam kelas Whiskey,
puluhan korvet, dan
1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah sasaran operasi, yaitu KRI Irian).

Dari jenis pesawat pengebom, terdapat 22 unit pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat. Semua potensi nasional kala itu dimobilisasi. Mulai sentra hingga daerah, berkemas-kemas melaksanakan langkah militer untuk merebut Irian Barat. Soekarno membentuk Komando Mandala yang besifat gabungan. Setelah itu melantik Brigjen Soeharto menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala sehabis pangkatnya dinaikkan menjadi Mayjen.

Desain Monumen

Desain monumen yang dibuat dengan bentuk segi tiga sama sisi menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Pada bab bawah monumen, terdapat relief pengecap api yang menjadi simbol semangat dari Trikora, sementara relief sama di bab atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam. Lalu ada juga 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen usaha fisik rakyat dikala itu. Monumen juga dikelilingi oleh kolam yang berarti kejernihan berpikir yang mutlak dimiliki dalam setiap perjuangan. Sayang, kondisi monumen terlihat kurang menerima perawatan. Dinding menara dan beberapa bab monumen ditumbuhi lumut dan semak, begitu pula kolam air yang mengelilingi monumen sudah tidak berfungsi lagi.

Apabila Anda melihat di ketinggian puncak menara, di sana terlihat sebuah harde (penangkal petir) yang seolah hendak menusuk langit; bermakna impian tinggi yang hendak diraih. Ada sebuah lift yang disiapkan untuk mengangkut pengunjung naik ke ruangan pengawas di puncak menara. Untuk masuk dan menikmati pemandangan dari ketinggian, pengunjung dikenai tarif Rp 10.000 per orang. Biasanya lift akan dioperasikan kalau pengunjung tiba secara berombongan. Sayang dikala VERSI berkunjung, lift belum sanggup difungsikan. Menurut Anwar, security monumen, lift masih dalam perbaikan. Keseluruhan tinggi monument Mandala mencapai 75 meter, terdiri empat lantai.

Lantai pertama menggambarkan usaha hero lokal, sementara lantai dua menggambarkan usaha hero nasional. Di areal tersebut juga terdapat beberapa bangunan lain, menyerupai galeri, dan ruang pertemuan. Khusus galeri, dikala ini difungsigandakan sebagai Sekretariat Dewan Kerajinan Nasional Indonesia Daerah Sulsel. Sementara ruang pertemuan masih sering dipakai, menyerupai seminar dan aktifitas sejenis lainnya. Ruang pertemuan ini disewakan dan ada pengelola khusus yang menanganinya. Tepat di belakang monumen, terdapat panggung pertunjukan yang biasa digunakan band-band lokal maupun nasional menghibur penggemarnya. Panggung itu berhadapan dengan tiga tribun untuk penonton. Dua tribun penonton biasa, dan satu tribun di bab tengah diapit oleh dua tribun biasa, ada juga tribun untuk tamu khusus atau very important person. Saat goresan pena ini dibuat, panggung pertunjukan tersebut sedang direnovasi. Terlihat beberapa bab masih dalam tahap penyelesaian.

12 diorama

Terdapat 12 diorama, 3 relief dan 3 replika pakaian pejuang Abad XVII s/d XVIII. Diorama di lantai satu menceritakan perihal usaha di tempat Sulawesi, berikut klarifikasi setiap diorama :

Diorama 1
Melukiskan Perang Makassar melawan Belanda, tahun 1668. Pertempuran terdahsyat yang pernah terjadi di Indonesia, mempertahankan Benteng Somba Opu, sentra Kerajaan Gowa di Makassar dari gempuran Belanda, dipimpin Speelman bersama sekutunya (Pasukan Bone yang dipimpin Arungpalakka, pasukan Buton dan Ambon) sementara rakyat Gowa dan sekutunya di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Akhir dari pertempuran itu, 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Belanda memberi julukan “AYAM JANTAN BENUA TIMUR” kepada Sultan Hasanuddin.

Diorama 2
Melukiskan Perlawanan Rakyat Wajo Terhadap Belanda, tahun 1716-1741. Pertempuran sengit ditepi sungai Topace’do,Tonrange-Tosora pada Tanggal 3 Maret 1741 digambarkan dalam diorama ini. Di bawah Pimpinan Lamadukelleng, selaku Arung Matoa Wajo memimpin perlawanan rakyat Wajo melawan pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Admiral Smout. Lamadukelleng bersama rakyatnya berhasil memukul mundur dan membunuh 100 tentara Belanda.
Diorama 3
Melukiskan Perlawanan Rakyat Mandar, tahun 1890. Belanda berusaha menguasai tempat Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Di antara kerajaan-kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Belanda mengajak Maradia Tokape dari Balanipa untuk kerjasama, namun ternyata undangan tersebut ditolak, bahkan Maradia melaksanakan perlawanan terhadap Belanda dengan menghadang pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun istana dipertahankan dengan sengit alhasil Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawah ke Makassar selanjutnya ke Jakarta, dan alhasil dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.

Diorama 4
Melukiskan Perlawanan rakyat Bone, tahun 1905. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bone, Belanda berkali-kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expeditio atau Ekspedisi Bone, sebuah bentuk penyerangan yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Kerajaan Bone diperintah oleh Lapawawoi Karaeng Segeri, Raja Bone yang ke-31, Ia bergerilya mencakup tempat Bone, Wajo, Sidenreng Rappang dan Pare-Pare (dari Watanpone hingga pantai Makassar) dengan cara ditandu alasannya yaitu usia lanjut dengan dikawal putranya sendiri berjulukan Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu tempat Pitturiase Wilayah Kerajaan Sidenreng putranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat putranya tewas. Akhirnya Ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan Meninggal pada Tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.

Diorama 5
Melukiskan Perlawanan Rakyat Tana Toraja, tahun 1906. “Moka ulungku, moka lettekku, Naparenta tobuta” yang artinya: Kaki dan Tanganku Tak Mau Di jajah oleh Orang Buta (Belanda), itulah ucapan Pongtiku ketika ia menolak panggilan Belanda, konsekuensinya Pongtiku harus berkemas-kemas mendapatkan serangan Belanda. Dan terjadilah pertempuran Bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Pongtiku juga melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari Gunung Kado ke Rinding Allo, alhasil pindah ke Lali’Londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Pandanan menemui Pongtiku Di Gua Batu tempat persembunyiannya, rahasia dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pongtiku dikala keluar dari Gua, kemudian di bawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pongtiku ditembak mati oleh Belanda ditepi Sungai Sa’dang di pinggir kota Rantepao.

Diorama 6
Melukiskan Serangan Umum Terhadap Kota Palopo, 23 Januari 1946. Ada dua alasan rakyat Luwu melancarkan serangan umum terhadap Kota Palopo tanggal 23 Januari 1946. Pertama, ikut sertanya tentara NICA atau (KNIL) dengan membonceng pasukan sekutu (Australia) yang tiba ke Palopo untuk menjemput dan mengambil tawanan serta senjata Jepang. Kedua, yaitu kemarahan rakyat terhadap tindakan patroli KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan sisa-sisa makanan kaleng, merobek­-robek Al Qur’an serta memukuli pegawai masjid dengan gagang senapan. Serangan umum dilancarkan sehabis ultimatum yang diberikan ternyata tidak dipatuhi oleh sekutu yakni biar tentara KNIL ditarik masuk kedalam tangsinya. Serangan umum dipelopori oleh Andi Jemma Datu Luwu, M. Yusuf Ariel dll, dan berhasil menghancurkan pasukan kecil sekutu yang ada di Kota Palopo.

Diorama 7
Melukiskan Perlawanan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (Lapris) di Polombangkeng, Mei 1946. Pada tanggal 17 Juli 1946 terbentuk organisasi laskar Pemberontak Rakyat Indonesia:(LAPRIS), dimana Ranggong Daeng Romo ditunjuk sebagai pimpinannya dibantu oleh Makkaraeng Daeng Mandjaruni, Robert Wolter Monginsidi dan lain-lain. Pada tanggal 27 Februari 1947 Subuh tiba-tiba markasnya yang berada di atas Gunung Lengkese-Polombangkeng diserang pasukan KNIL. la mengadakan perlawanan hingga titik darah penghabisan, dan gugur bahu-membahu prajuritnya sebagai Kusuma Bangsa.

Diorama 8
Melukiskan Pelantikan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), 1946. KRIS sebagai bab dari laskar seberang di Istana Yogyakarta. Badan perjuangannya dibuat di Jakarta tanggal 10 Oktober 1945 oleh Barth Ratulangi, H. M. Idrus GP, Boece Waworuntu dll. KRIS didirikan untuk menyalurkan semangat juang para cowok Sulawesi yang ada di Jawa dalam satu barisan sebagai spontanitas keikutsertaan mempertahankan kedaulatan RI, KRIS merupakan tindak lanjut dari APIS (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi) yang sebelumnya yaitu GEPIS (Gerakan Pemuda-Pemuda Indonesia Sulawesi) yaitu Organisasi Pemuda-Pemuda Sulawesi yang ada di Jakarta.

Diorama 9
Melukiskan Peristiwa korban 40.000 jiwa, 1946-1947. Pada tanggal 11 Desember 1946 hingga dengan pertengahan Maret 1947 di tempat Sulsel mencakup Kota Makassar, Pare-Pare, Bantaeng dan Mandar telah terjadi suatu peristiwa pembunuhan rakyat pejuang secara biadab oleh pasukan kolonialis Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling. Aksi Westerling ini diperkirakan telah menelan korban lebib kurang 40.000 jiwa, termasuk yang hilang. Beberapa tokoh masyarakat korban kekejaman WESTERLING ini antara lain Datu Suppa “Andi Makkasau” dan pemimpin pemerintahan RI di Pare-Pare Andi Bau Massepe sedangkan salah satu perempuan yang cukup gigih menentang, kekejaman ini ialah Ibu Depu (Ibu Agung).

Diorama 10
Melukiskan konferensi Kelaskaran Sulawesi-Selatan, 20 Januari 1947. Pada tanggal 20 Januari 1947 di Desa Pacekke, Kabupaten Barru telah berlangsung suatu Konferensi Rakyat Pejuang dengan maksud pembentukan TRI di Sulsel dan Tenggara. Rapat dipimpin oleh Andi Mattalatta selaku pengemban mandat dari panglima besar Jenderal Sudirman. Konferensi ini berjalan dengan baik dan berhasil membentuk Tri Divisi Hasanuddin, Yang terdiri dari tiga Resimen Yaitu:
1. Resimen I / Bade Massepe;
2. Resimen II / Andi Padjonga;
3. Resimen III / Andi Djemma.
Pada kesempatan itu dilantik pula para perwira dalam jajaran Tri
Divisi Hasanuddin.

Diorama 11
Melukiskan Kepahlawanan Robert Wolter Monginsidi di Sulawesi selatan, 1949.
“Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan” Inilah goresan pena terakhir Wolter Monginsidi sebelum ia gugur sebagai pahlawan. Ia menjadi buruan Belanda nomor satu ketika pada bulan Juni 1946 dibuat Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (LAPRIA) yang mempersatukan 19 kelaskaran di tempat sekitar­ Makassar di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, sementara Wolter Monginsidi dipilih sebagai Sekretaris Jenderalnya. Dalam perjuangannya Wolter pantang menyerah. Dua kali ia ditangkap oleh Belanda. Pertama pada tanggal 28 Februari 1947, kemudian dipenjarakan di Hogepad pada tanggal 26 Oktober 1947; ia ditangkap kembali pada Maret 1949. Dihadapkan ke depan pengadilan kolonial dan dijatuhi eksekusi tembak mati pada dini hari 5 September 1949. Ia masih sempat menuliskan kata-kata di atas sebagai jawabannya.

Diorama 12
Melukiskan Peristiwa Andi Azis, 5 April 1950. Tanggal 30 Maret 1950 satu Kompi KNIL dibawah Kapten Andi Azis di Makassar melebur diri ke dalam APRIS. Tetapi tanggal 5 April 1950 mereka memberontak. Mereka menyerang markas Polisi Militer di Makassar dan menangkap Letnan Kolonel A. J. Mokoginta. Pemerintah mengeluarkan ultimatum supaya dalam waktu 4 x24 jam Andi Azis menghadap ke Jakarta. Karena ultimatum itu tidak diindahkan, APRIS mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang. Satuan-Satuan yang turut ialah Brigade Mobil Divisi IV Jawa Barat dan satu Batalyon di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta. Pasukan diangkut dengan kapal-kapal APRIS dan mendarat di Makassar pada tanggal 26 April 1950. Namun sebelum pasukan mendarat, Andi Azis sudah menyerahkan diri ke Jakarta.

Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan klarifikasi sejarah seputar usaha pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga mempunyai 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas seni administrasi pembebasan Irian Barat, ada relief Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada dikala usaha pembebasan Irian Barat.
Sumber : majalahversi

Lokasi Monumen

Monumen Mandala terletak di Jl Jenderal Sudirman, lokasinya hanya 200 meter sebelah selatan titik nol kilometer Kota Makassar, Lapangan Karebosi. Dari Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, Monumen Mandala berjarak 3,1 km dengan waktu tempuh sekira 7 menit. Dan dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, monumen ini berjarak 20,6 km dengan waktu tempuh sekira 30 menit.